Topik Publikasi

Selasa, 06 Juli 2010

Petani Kota Riwayatmu Kini

Perlahan komunitas petani perkotaan mulai tersingkirkan. Diakibatkan kondisi pembangunan kian berkembang pesat. Ruang yang selama ini dijadikan para komunitas petani tersebut sebagai lahan garapan berubah menjadi ‘hutan beton’.
Tanpa disadari, pembangunan fisik Makassar merambah cukup luas, dengan menggeser pola pemanfaatan lahan, yang selama ini dijadikan komunitas petani kota menggatungkan hidup.
Perlahan tapi pasti sebagian besar lahan akan terus terkonversi untuk berbagai keperluan pembangunan fisik, termasuk pemukiman, pusat niaga ataupun perkantoran. Dan tentunya ini menjadi momok tersendiri bagi petani kota.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Manggala dan Panakkukang. Dulunya, menurut penuturan salah seorang warga kepada penulis yang enggan di Koran-kan namanya, sebagian besar lahan di kawasan itu merupakan lahan pertanian, tapi sekarang ini, yang hanya bisa kita dapati hanyalah petak-petak sawah dan kebun yang kurang terawat, yang disekelilingnya sudah berdiri ‘hutan-hutan tembok’.

Akibatnya; kondisi sawah dan kebun pak tani ketika musim hujan tiba laiknya sebuah danau. Parahnya lagi, air hujan itu terkadang meluap dan meluberi pemukiman warga yang menetap di tempat tersebut.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri, dari hasil sawah, ladang petani tersebut, warga perkotaan bisa mendapatkan pasokan kebutuhan rumah tangga. Namun ironisnya, eksistensi komunitas ini belum sepenuhnya didukung oleh kebijakan yang ada.
Seperti masih minimnya penyuluhan-penyuluhan, baik itu berupa penyuluhan kesehatan maupun pengembangan kapasitas para petani. Begitupun juga dengan bantuan, seperti permodalan, bibit, pupuk, atau alat pertanian modern lainnya, sehingga komunitas tersebut masih saja lekat dengan keterbelakangan.
Dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian tersebut, banyak dari mereka berprofesi ganda guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek, dan beragam profesi lainnya.
Sehingga terkadang dengan waktu yang dihabiskan menekuni profesi nyambi itu, sawah dan kebun mereka dibiarkan terlantar, tidak terawat dengan baik. Ini berakibat pada menurunnya produktivitas dan kualitas hasil panen mereka.
Secara umum, terlihat dengan jelas, petani dengan terpaksa diperhadapkan dengan korporasi atau perusahaan yang melakukan ekpansi di wilayah mereka, beserta dengan pemerintah yang mengeluarkan instruksi perizinan.
Karakter umum pada persoalan ini adalah adanya upaya ‘pengusiran’ petani dari lahan garapan mereka, yang selanjutnya, petani yang merasa kalah terpaksa ‘lari’ meninggalkan habitatnya untuk berjuang mencari sesuap nasi di tempat lain.
Selain karena tak lagi memiliki basis material produksi (lahan), mereka secara mendasar kehilangan harapan untuk melanjutkan kehidupannya, kalaupun dapat melanjutkan, situasi jasmaninya pastilah dalam keadaan buruk, dalam istilah terpopuler disebut gizi buruk.
Ketimpangan tersebut dengan berbagai dampaknya, jelas menjanjikan kerawanan pangan, berhubung tanah lahan sebagai basis produksi pangan tidak berada dalam penguasaan atau pengelolaan masyarakat. Dan dampak selanjutnya adalah volume kemiskinan akan semakin membesar. (Hedar Tassaka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar