Dg Mari (45 th), hanya mampu meratapi nasib anak gadisnya, Haliah. Sejak 2003 silam, wanita kelahiran Makassar 28 tahun silam itu sangat susah untuk menerima asupan makanan. Pasalnya, ia menderita tumor yang bersarang di rongga mulutnya.
Haliah sempat menjalani operasi sebanyak 3 kali, namun tidak ada perubahan apa-apa, dan tetap saja benjolan itu membengkak hingga membesar sampai memenuhi rongga mulutnya. Terkadang putri Dg Sudding (60 th), ini minder ketika harus berinteraksi dengan warga lainnya. Dan tak jarang ia harus mendapat cibiran akibat penyakit yang dideritanya.
Guna membiayai kebutuhan berobat putrinya, beberapa aset berharga miliknya telah ia jual namun tak kunjung membuahkan hasil. “Sudahmi kujual rumah sama kerbauku di kampung untuk pengobatan anakku, tetapi tidak ada tanda-tanda akan sembuh kodong,” kata Dg Mari dengan suara lirih, kental dialek Makassarnya kepada KC yang menyambangi di kediamannya, RT 01, RW 05, Kelurahan Maccini Sombala.
Dari penuturan ibu ini, Haliah beberapa kali keluar masuk rumah sakit (RS). Mulai dari RS Pelamonia, RS Bhayangkara, dan juga sempat dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo, Tamalanrea. Beberapa dokter ahli menurut penuturan Dg Mari menyatakan ketidaksanggupannya dengan penyakit yang diderita putrinya.
Kata menyerah bagi sang ibu yang satu ini tidak berlaku dalam kamus kehidupannya, demi ingin melihat kesembuhan sang putri tersayangnya. Untuk itu, ia rela berjuang keras mencari dan menemukan obat yang cocok. Setiap kali ada info dari mulut ke mulut tentang adanya pengobatan alternatif, paranormal dan lain sebagaianya, ia sambangi semua.
Bahkan Haliah pernah di bawa berobat ke Banjarmasin. Konon, di tempat itu ada seorang dukun sakti yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada perubahan dan tanda-tanda penyakit tumor itu akan hilang.
Kini, kondisi Haliah kian hari kian menurun. Badannya semakin kurus. Betapa tidak, sejak menderita tumor, ia hanya dapat menerima asupan makanan semacam bubur. Dan minumnya pun harus memakai alat bantu, semacam pipet penyedot.
Jumat, 09 Juli 2010
Keluar Masuk RS, Juga Pernah Berobat ke Dukun
Selasa, 06 Juli 2010
Lokakarya Kewirausahaan Sosial Berbasis Komunitas
BANDUNG, JABAR (KC). Kewirausahaan sosial berbasis komunitas dibedah dalam sebuah lokakarya, dilaksanakan oleh British Council di Hotel Scarlet Dago, Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Diikuti kurang lebih dua puluh perwakilan lembaga dan komunitas daerah di seluruh Indonesia. Termasuk beberapa perwakilan lembaga dari Sulsel. Masing-masing Institusi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (IPPM) Sulsel, Kelompok Tani Rumput Laut Palopo, Lembaga Maritime Nusantara ( LEMSA ) Makassar.
Lokakarya tersebut dilaksanakan sebagai upaya pengembangan kewirausahaan sosial berbasis komunitas. Dan juga sebagai ajang sharing informasi dan pengalaman mengenai kewirausahaan sosial dari beberapa kelompok dan lembaga yang selama ini telah banyak melakukan aktifitas sosial, dan memiliki dampak positif bagi komunitas.
Lokakarya tersebut dilaksanakan sebagai upaya pengembangan kewirausahaan sosial berbasis komunitas. Dan juga sebagai ajang sharing informasi dan pengalaman mengenai kewirausahaan sosial dari beberapa kelompok dan lembaga yang selama ini telah banyak melakukan aktifitas sosial, dan memiliki dampak positif bagi komunitas.
Petani Kota Riwayatmu Kini
Perlahan komunitas petani perkotaan mulai tersingkirkan. Diakibatkan kondisi pembangunan kian berkembang pesat. Ruang yang selama ini dijadikan para komunitas petani tersebut sebagai lahan garapan berubah menjadi ‘hutan beton’.
Tanpa disadari, pembangunan fisik Makassar merambah cukup luas, dengan menggeser pola pemanfaatan lahan, yang selama ini dijadikan komunitas petani kota menggatungkan hidup.
Perlahan tapi pasti sebagian besar lahan akan terus terkonversi untuk berbagai keperluan pembangunan fisik, termasuk pemukiman, pusat niaga ataupun perkantoran. Dan tentunya ini menjadi momok tersendiri bagi petani kota.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Manggala dan Panakkukang. Dulunya, menurut penuturan salah seorang warga kepada penulis yang enggan di Koran-kan namanya, sebagian besar lahan di kawasan itu merupakan lahan pertanian, tapi sekarang ini, yang hanya bisa kita dapati hanyalah petak-petak sawah dan kebun yang kurang terawat, yang disekelilingnya sudah berdiri ‘hutan-hutan tembok’.
Tanpa disadari, pembangunan fisik Makassar merambah cukup luas, dengan menggeser pola pemanfaatan lahan, yang selama ini dijadikan komunitas petani kota menggatungkan hidup.
Perlahan tapi pasti sebagian besar lahan akan terus terkonversi untuk berbagai keperluan pembangunan fisik, termasuk pemukiman, pusat niaga ataupun perkantoran. Dan tentunya ini menjadi momok tersendiri bagi petani kota.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Manggala dan Panakkukang. Dulunya, menurut penuturan salah seorang warga kepada penulis yang enggan di Koran-kan namanya, sebagian besar lahan di kawasan itu merupakan lahan pertanian, tapi sekarang ini, yang hanya bisa kita dapati hanyalah petak-petak sawah dan kebun yang kurang terawat, yang disekelilingnya sudah berdiri ‘hutan-hutan tembok’.
Senin, 05 Juli 2010
RETRIBUSI NELAYAN SUDAH DICABUT
SELAIN karena posisinya yang cukup strategis sebagai tempat transaksi perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere, Makassar, juga bisa dikatakan sebagai surga bagi nelayan yang ada di kawasan timur Indonesia. Tidak Heran bila banyak kapal nelayan yang berasal dari daerah lain, seperti Kalimantan, Kendari dan Ambon yang memasarkan hasil tangkapannya di tempat tersebut.
Beragam hasil tangkapan nelayan diperjualbelikan di kawasan PPI, Paotere. Seperti Ikan Sunu, Baronang, Tawassang, Kakap Merah, Cakalang, Cumi-cumi, Udang, dan banyak lagi hasil tangkapan lainnya.
Meski demikian, beberapa hasil laut yang dilarang oleh negara untuk diperjualbelikan juga mudah ditemukan di tempat tersebut. Seperti Penyu dan Ikan Napoleon. Ketika KC coba menanyakan perihal penjualan hewan laut itu, salah seorang nelayan yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, hewan laut itu tertangkap karena faktor ketidaksengajaan, tertangkap akibat terjebak jaring milik nelayan.
Sementara itu, saat kunjungan Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad di Lampung beberapa waktu, ia mengimbau agar segala retribusi yang diambil dari nelayan segera dicabut, karena selama ini dinilai Fadel, seperti yang dikutip dari media internet, retribusi dari nelayan sangat kecil nilainya dibandingkan anggaran untuk program peningkatan kesejahteraan nelayan. Selain itu, mantan Gubernur Provinsi Gorontalo itu juga menilai, profesi nelayan sangat identik dengan kemiskinan.
Dengan adanya himbauan itu, terkhusus kepada PPI, Paotere, Makassar yang juga terkenal sebagai mesin pencetak uang dinas perikanan, kelautan, pertanian dan peternakan, akan terancam kekurangan pemasukan.
Dan juga tentunya akan berdampak langsung pada menurunnya pendapatan asli daerah PAD) di beberapa kota yang terlanjur mengandalkan sebagian PAD-nya melalui transaksi perikanan. Sebut saja misalnya Kabupaten Takalar, Sinjai, Kepulauan Selayar, Pangkep dan Palopo, dan tentunya juga Kota Makassar.
Kepala UPTD PPI Paotere, Makassar Drs Abbas kepada KC di ruang kerjanya belum lama ini mengatakan, adanya larangan dari menteri perikanan dan kelautan untuk tidak lagi memungut retribusi dari nelayan bukanlah sebuah ancaman akan menurunnya PAD Makassar. Masih banyak sumber pendapatan lain yang dapat mendatangkan pemasukan bagi PAD kota ini.
Beberapa jenis retribusi yang tidak berlakukan lagi di PPI, Paotere, Makassar, diantaranya retribusi tambat labu, sewa tempat (parkir peti ikan).
Di tempat terpisah, hal itu juga coba dikonfirmasikan kepada H Abdul Rahman Baddu selaku Ketua Organisasi Kerukunan Nelayan ‘Beringin Andalan’. Menurutnya, dengan adanya himbauan dari menteri perikanan dan Kelautan untuk tidak memungut retribusi dari nelayan khususnya item tambat labuh, kami sebagai mitra UPTD PPI, Paotere sangat bersyukur. Ditambah lagi dengan beberapa surat-surat kelengkapan menangkap ikan juga akan di hilangkan.
Langganan:
Postingan (Atom)